08112652210 / 08112652244 info@akeyodia.com

Perusahaan sering dihadapkan pada regulasi membuka lowongan kerja meski tidak ada kebutuhan nyata. Artikel ini mengulas sikap perusahaan, strategi komunikasi, serta langkah proaktif untuk menghadapi kebijakan tersebut agar tetap mematuhi aturan tanpa mengganggu efektivitas operasional.

 

 

Mengapa Perusahaan Diwajibkan Membuka Lowongan Kerja Padahal Tidak Ada Kebutuhan?

Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering mendengar kebijakan pemerintah yang mewajibkan perusahaan membuka lowongan kerja, bahkan ketika tidak ada kebutuhan nyata di dalam organisasi. Regulasi semacam ini seringkali bertujuan agar pemerintah dapat memantau data ketenagakerjaan, memfasilitasi angkatan kerja yang sedang mencari peluang, dan juga untuk menekan angka pengangguran. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan bisa menjembatani kebutuhan tenaga kerja dengan perusahaan secara lebih transparan.

Namun, bagaimana jika perusahaan sebenarnya tidak memiliki kebutuhan tambahan karyawan? Apakah sikap perusahaan cukup pasif menunggu regulasi selanjutnya? Atau justru perlu bergerak proaktif untuk mengembangkan talenta internal? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap muncul di ruang rapat manajemen. Pada akhirnya, meski terasa kontradiktif, perusahaan tetap harus mematuhi aturan. Lalu, apa yang bisa dilakukan tanpa merugikan efisiensi operasional?

Landasan Hukum: Dari Undang-Undang hingga Peraturan Pemerintah

Pertama-tama, mari kita telaah alasan di balik kebijakan: pemerintah menerbitkan regulasi agar data lowongan di Bursa Kerja Terbuka (BKT) dan Kartu Kuning Disnaker dapat terbarui. Misalnya, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 mengatur kewajiban perusahaan mempublikasikan info lowongan melalui situs resmi pemerintah agar data ketenagakerjaan mudah diakses. Dengan begitu, perusahaan diwajibkan membuka lowongan kerja pada platform resmi walaupun sesungguhnya tidak merekrut tenaga baru saat itu.

Selain itu, Peraturan Gubernur (Pergub) di beberapa provinsi sering menegaskan kewajiban tersebut. Contohnya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerbitkan Pergub tentang pelaporan lowongan kerja untuk memudahkan penempatan lulusan vokasi. Praktiknya, perusahaan harus mencantumkan jabatan “fiktif” agar dapat menjalankan kewajiban administratif. Sekilas, langkah ini tampak aneh, tapi pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan transparansi data ketenagakerjaan nasional.

Dampak Kewajiban pada Operasional dan Anggaran Perusahaan

Bagaimana pengaruhnya terhadap operasional? Banyak manajer SDM melaporkan bahwa kegiatan memproses lowongan kerja ekstra memakan waktu. Sistem online harus diupdate, deskripsi pekerjaan dibuat, bahkan ada proses verifikasi dokumen. Padahal, tanpa kebutuhan riil, lowongan tersebut hanya dipublikasikan semata. Dalam praktiknya, anggaran untuk portal rekrutmen, iklan, dan tenaga administrasi meningkat. Akibatnya, perusahaan yang sedang efisien secara biaya mungkin terkejut melihat pengeluaran tak terduga ini.

Contoh nyata terjadi pada sebuah perusahaan manufaktur di Bekasi. Ketika diwajibkan menginput lowongan untuk posisi operator produksi padahal sudah memiliki tenaga yang cukup, departemen SDM harus mengalokasikan anggaran ekstra untuk jasa penyedia portal rekrutmen dan mencetak poster. Alhasil, tim keuangan mengajukan pertanyaan: “Apakah anggaran ini tidak bisa dialihkan untuk pelatihan internal karyawan?”. Dampak lainnya, tim rekrutmen merasa terbebani karena aktivitas ini tidak memberikan manfaat jangka panjang bagi perusahaan.

Studi Kasus: Perusahaan XYZ dan PT ABC Menyikapi Kewajiban Ini

Mari kita lihat dua contoh perusahaan berbeda: Perusahaan XYZ, sebuah startup teknologi di Jakarta Selatan, dan PT ABC, produsen makanan ringan besar di Surabaya. Kedua perusahaan ini dihadapkan pada permintaan serupa untuk membuka lowongan meski tidak ada kebutuhan riil.

Perusahaan XYZ memutuskan untuk mengubah persyaratan menjadi program magang singkat. Mereka mempublikasikan lowongan “Junior Data Analyst” untuk menarik lulusan fresh graduate, meski sebenarnya posisi tersebut belum dibutuhkan. Hasilnya, dalam sebulan, sejumlah mahasiswa magang memperoleh pengalaman, sementara perusahaan memantau potensi talenta tanpa mengalokasikan gaji penuh. Dengan demikian, kewajiban membuka lowongan kerja justru menjadi kesempatan membangun talent pool.

Sebaliknya, PT ABC memilih jalan lain. Mereka mempublikasikan lowongan untuk berbagai posisi entry-level, tetapi dengan catatan “Penempatan Menunggu Persetujuan Kebutuhan”. Strategi ini membuat mereka memenuhi ketentuan administratif, namun proses seleksi dijeda hingga ada kebutuhan riil. Cara ini tentu menimbulkan pertanyaan: Apakah kandidat akan kecewa ketika mereka dipanggil namun tidak direkrut? Karena itu, PT ABC melengkapinya dengan notifikasi terbuka, menjelaskan situasi sebenarnya kepada pelamar. Transparansi ini membantu membangun kepercayaan calon karyawan.

Strategi Komunikasi: Jujur dan Terbuka kepada Kandidat

Komunikasi menjadi kunci. Ketika perusahaan “dipaksa” membuka lowongan meski tidak ada kebutuhan riil, menutup-nutupi situasi hanya akan menciptakan kekecewaan. Bayangkan saja pelamar yang sudah melewati proses seleksi awal, tiba-tiba diberi tahu bahwa rekrutmen ditunda tanpa kejelasan. Dalam hal ini, strategi komunikasi yang baik dapat mencegah citra perusahaan memburuk.

Sebagian perusahaan memilih membuat pengumuman khusus di situs resmi dan media sosial: “Lowongan ini bersifat open request dan akan diproses ketika ada kebutuhan.” Bagaimana responsnya? Tampaknya, calon pelamar menghargai kejujuran. Bahkan beberapa di antaranya memutuskan untuk tetap mendaftar sebagai bentuk antisipasi. Selain itu, perusahaan mengadakan sesi tanya jawab virtual singkat, menjelaskan konteks regulasi. Dengan cara ini, proses administratif tidak terasa sekadar formalitas membingungkan, melainkan upaya transparansi kepada publik.

Taktik Proaktif: Talenta Internal dan Program Pengembangan

Jika perusahaan tidak punya kebutuhan nyata untuk merekrut staf baru, mengapa tidak memaksimalkan talenta yang sudah ada? Faktanya, banyak karyawan yang memiliki potensi untuk naik jabatan. Misalnya, tim pemasaran internal bisa diberikan pelatihan digital marketing lanjutan sehingga mereka mengambil alih tugas yang sebelumnya membutuhkan tenaga baru. Dengan demikian, perusahaan mendayagunakan sumber daya internal sekaligus tetap memenuhi kewajiban membuka lowongan kerja.

Contohnya, PT DEF, sebuah perusahan FMCG di Bandung. Saat diwajibkan membuka lowongan untuk posisi “Digital Marketing Executive”, manajemen justru menggunakan anggaran itu untuk pelatihan karyawan marketing tradisional. Setelah beberapa bulan, dua karyawan promosi menjadi “Digital Marketing Executive” tanpa perlu rekrutmen eksternal. Jadi, kewajiban membuka lowongan kerja justru diubah menjadi peluang meningkatkan kapasitas internal.

Berkolaborasi dengan Pemerintah: Memanfaatkan Fasilitas Pelatihan dan Insentif

Pemerintah tidak selalu sekadar menuntut. Terkadang, mereka menyediakan fasilitas pelatihan dan insentif bagi perusahaan yang aktif menjalankan program pengembangan tenaga kerja. Pernahkah Anda mendengar Program Kartu Prakerja? Melalui program ini, perusahaan bisa memfasilitasi karyawan atau calon pelamar mengikuti pelatihan tanpa biaya. Dengan memanfaatkan skema tersebut, perusahaan dapat memenuhi kewajiban lowongan sambil meningkatkan skill tenaga kerja.

Di Kota Medan, contohnya, Pemkot bekerja sama dengan Disnaker setempat untuk menyelenggarakan pelatihan teknis pada sektor perhotelan. Perusahaan hotel diwajibkan mempublikasikan lowongan “Front Office” padahal mereka sudah memiliki tenaga frontliner yang cukup. Mereka pun mengusulkan program pelatihan upgrading skill reception hingga hospitality service. Hasilnya, tiga karyawan naik level menjadi supervisor, sedangkan lowongan yang dibuka tetap tercatat sebagai bagian dari data pemerintah. Win-win solution, bukan?

Alternatif Inovatif: Talent Pool, Magang, dan Freelance

Tidak semua lowongan harus berupa pegawai tetap. Demi memenuhi kewajiban administrasi, perusahaan bisa menuliskan lowongan untuk program talent pool atau magang. Ide ini berguna untuk membangun cadangan karyawan potensial ketika kebutuhan muncul di masa depan. Selain itu, format freelance juga bisa diterapkan, misalnya membuka lowongan “Content Writer Freelance” dengan kesempatan proyek berkelanjutan.

Salah satu startup e-commerce di Yogyakarta, misalnya, mengumumkan lowongan magang UI/UX Designer. Mereka menawarkan kesempatan bagi mahasiswa jurusan desain grafis untuk bekerja pada proyek-proyek singkat. Mahasiswa terburu-buru mendaftar karena proyek tersebut bergengsi. Sementara itu, perusahaan terpantau mematuhi aturan tanpa harus merekrut pegawai full-time. Ketika akhirnya mereka membutuhkan full-time talent, mereka sudah memiliki portofolio calon kandidat dan data riwayat kerja magang.

Risiko dan Konsekuensi: Apa yang Terjadi Jika Perusahaan Tidak Patuh?

Mengabaikan kewajiban membuka lowongan kerja dapat berujung pada sanksi administratif hingga denda. Bagaimana mungkin? Pemerintah melalui Disnaker bisa memanggil perwakilan perusahaan untuk klarifikasi. Jika terbukti menolak melaksanakan perintah, sanksi bisa berupa denda hingga pencabutan izin operasional. Meski jarang diterapkan secara ekstrem, potensi resiko ini cukup menakutkan.

Misalnya, tahun lalu di Provinsi Sumatera Utara, sebuah perusahaan tekstil di Binjai didenda Rp50 juta karena tidak melaporkan lowongan yang dipublikasikan di Bursa Kerja Terbuka. Mereka menganggap “itu hanya formalitas”, sehingga tidak ada penanganan khusus. Akhirnya, ketika ada audit mendadak, pihak Disnaker menemukan bahwa data rekrutmen tidak sesuai dengan sistem pemerintah. Dampaknya, reputasi perusahaan tercoreng, dan proses perizinan ekspor-impor sempat tertunda.

Menjaga Reputasi Perusahaan: Branding dan Citra Publik

Dalam era digital, citra perusahaan mudah tersebar lewat media sosial. Bagaimana jika calon pelamar kecewa karena lowongan dipublikasikan hanya sebagai formalitas? Mereka mungkin mencuitkan ketidakpuasan di Twitter, menulis review negatif di situs portal kerja, atau membagikan pengalaman negatif di LinkedIn. Imbasnya, reputasi employer branding bisa terancam. Bukankah hal ini lebih mahal dibandingkan sekadar mematuhi regulasi?

Sebagai solusi, beberapa perusahaan besar memanfaatkan storytelling positif. Misalnya, Bank ABC membuka lowongan “Entry-Level Teller” meski cabang tertentu sudah penuh. Mereka mengumumkan bahwa lowongan tersebut bertujuan membentuk “Talent Pipeline” jangka panjang. Dalam pengumuman disertakan kisah inspiratif karyawan yang dulu direkrut melalui jalur Talent Pool—sekarang menjabat sebagai manajer cabang. Dengan demikian, publik melihat upaya tersebut sebagai program pengembangan sumber daya manusia, bukan sekadar formalitas pembukaan lowongan belaka.

Pengembangan Kebijakan Internal: Integrasi dengan Rencana SDM

Perusahaan yang tahan banting akan menjadikan kebijakan ini sebagai bagian strategi SDM. Ketika merancang perencanaan tahun berikutnya, manajer SDM bisa memasukkan “Anggaran Rekrutmen Fiktif” atau “Program Talent Development” agar saat regulasi mewajibkan membuka lowongan, sudah ada rencana terstruktur. Dengan demikian, aktivitas tersebut bukan menimbulkan kebingungan mendadak, melainkan dilaksanakan sebagai bagian dari roadmap tahunan.

PT GHI, perusahaan fintech di Bali, misalnya, menciptakan kebijakan “Rekrutmen Opsional” yang membahas berbagai skenario kebutuhan tenaga. Mereka menyiapkan template deskripsi pekerjaan, proses seleksi sederhana, dan anggaran minimal untuk platform BKT. Ketika tiba waktu pelaporan, mereka tinggal mengisi template yang sudah disiapkan. Urusan administratif selesai dalam hitungan jam, tanpa mengganggu aktivitas rutin. Proses ini pun disosialisasikan kepada seluruh manajer cabang agar tidak terulang kebingungan di setiap unit.

Mengoptimalkan Lowongan “Sosial Responsibility”

Tahukah Anda bahwa membuka lowongan sebetulnya bisa menjadi bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)? Bayangkan jika perusahaan memublikasikan lowongan “Training Operator Mesin” padahal tidak ada rencana merekrut. Namun, yang mendaftar akan diberi kesempatan mengikuti workshop gratis tentang teknik mesin dasar. Setelah itu, pelamar mendapat sertifikat dari perusahaan. Dengan begitu, meski tidak ada pekerjaan tetap, mereka tetap mendapatkan manfaat. Ini merupakan win-win solution antara perusahaan dan masyarakat.

Contoh lain: PT JKL di Bandung mempublikasikan lowongan “Asisten Logistik” di tokomu, lalu menyelenggarakan lokakarya singkat selama dua hari tentang manajemen rantai pasok. Ratusan orang mendaftar sekadar ingin mendapatkan ilmu praktis gratis. Setelah acara, perusahaan membagikan modul digital dan sertifikat attendance. Tentu, biaya relatif kecil dibandingkan manfaat bagi komunitas. Sementara, pelamar merasa dihargai. Jadilah lowongan tersebut sebuah bentuk kontribusi sosial, bukan sekadar syarat administratif.

Memantau dan Mengevaluasi: Kapan Lowongan Ditutup?

Ketika posisi “fiktif” atau internship sudah mengumpulkan data pelamar, perusahaan harus segera menutup lowongan. Mengapa? Agar tak membebani pelamar yang terus menunggu proses panjang tanpa kejelasan. Transparansi terhadap jangka waktu lowongan sangat penting. Perusahaan perlu mencantumkan “Tanggal Tutup” dan “Prosedur Seleksi”, meski seleksi riil tidak dijalankan. Hal ini membantu mengatur harapan pelamar.

Sebagai contoh, di sektor perbankan, sebuah bank syariah di Makassar mempublikasikan lowongan “Customer Service” untuk kepentingan pelaporan BKT. Mereka mencantumkan tanggal tutup dua minggu setelah pengumuman. Selanjutnya, mereka mengumumkan bahwa proses seleksi digantikan dengan “Proses Penyaringan Administratif” untuk data internal. Dengan demikian, pelamar memahami bahwa proses “fiktif” ini bukan seleksi riil. Setelah ditutup, data yang terkumpul digunakan sebagai database calon pegawai di tahun berikutnya.

Teknologi sebagai Solusi: Otomatisasi dan Integrasi Sistem

Pada era digital, perusahaan dapat memanfaatkan teknologi agar proses pembukaan lowongan kerja menjadi otomatis. Sebuah ERP (Enterprise Resource Planning) dengan modul HR dapat diintegrasikan dengan portal BKT pemerintah. Ketika manajer SDM menambahkan status “siap rekrut” pada sistem internal, data lowongan langsung terkirim ke portal resmi. Prosedur ini mengurangi beban administrasi sekaligus meminimalkan kesalahan input. Dengan demikian, lowongan yang dipublikasikan mencerminkan data yang akurat sesuai regulasi.

Contohnya, perusahaan logistik di Semarang menggunakan aplikasi HRIS berbasis cloud yang terhubung ke sistem Disnaker lokal. Ketika fitur “Buka Lowongan” diaktifkan, informasi tentang posisi—meski hanya bersifat formal—otomatis muncul di aplikasi Disnaker. Tim SDM hanya perlu memastikan detail dokumen pelengkap terunggah. Selain itu, laporan ke Kepala Cabang bisa dihasilkan dengan satu klik. Cara ini terbukti memangkas waktu lebih dari 70 persen dibandingkan input manual.

Menyikapi Regulasi dengan Bijak

Apakah perusahaan hanya menyerah pada regulasi tanpa inovasi? Tentu tidak. Sikap perusahaan ketika diwajibkan membuka lowongan kerja padahal tidak ada kebutuhan nyata harus berlandaskan kreativitas, kolaborasi, dan fokus pada tanggung jawab sosial. Dari menyusun program magang hingga memanfaatkan pelatihan pemerintah, banyak cara untuk mengubah kewajiban administratif menjadi peluang strategis.

Pada akhirnya, kunci utama adalah transparansi: baik kepada karyawan internal maupun calon pelamar. Dengan komunikasi jujur, integrasi teknologi, dan kebijakan SDM yang proaktif, perusahaan tidak hanya memenuhi ketentuan, tetapi juga membangun citra positif di mata publik. Apakah regulasi ini merepotkan? Mungkin. Namun, jawabannya bukan selalu “protes” atau “mengeluh”. Mari lihat ini sebagai kesempatan memperkaya talenta dan memperkuat reputasi organisasi.

Pertanyaan yang Sering Diajukan:

1. Apa alasan pemerintah mewajibkan perusahaan membuka lowongan kerja padahal tidak ada kebutuhan konkret?
Pemerintah bertujuan mengumpulkan data ketenagakerjaan yang akurat melalui Bursa Kerja Terbuka (BKT) dan Disnaker. Dengan data ini, kebijakan ketenagakerjaan dapat diformulasikan lebih baik untuk menekan angka pengangguran. Selain itu, peraturan ini meningkatkan transparansi pasar tenaga kerja.

2. Bagaimana perusahaan dapat memenuhi kewajiban ini tanpa merekrut karyawan baru?
Perusahaan bisa mengubah lowongan formal menjadi program magang, talent pool, atau pelatihan sertifikasi. Dengan pendekatan ini, lowongan status administrasi tetap terpenuhi sementara perusahaan mendapatkan manfaat berupa database calon talenta dan meningkatkan kapabilitas internal.

3. Apa risiko jika perusahaan menolak mempublikasikan lowongan meski tidak ada kebutuhan?
Risikonya meliputi sanksi administratif hingga denda, bahkan potensi penundaan izin operasional. Selain itu, reputasi perusahaan bisa tercoreng jika pemerintah atau masyarakat menilai perusahaan tak patuh terhadap peraturan.

4. Apakah membuka lowongan “fiktif” merusak reputasi employer branding?
Jika tidak diimbangi komunikasi yang jujur, pelamar bisa kecewa dan menyebarkan pengalaman negatif. Namun, dengan menjelaskan konteks kebijakan dan menawarkan alternatif seperti pelatihan gratis, perusahaan justru dapat membangun citra positif.

5. Bagaimana teknologi dapat membantu proses pembukaan lowongan administrasi?
Perusahaan dapat menggunakan HRIS atau sistem ERP yang terintegrasi dengan portal BKT pemerintah. Ketika fitur “buka lowongan” diaktifkan, data otomatis terunggah ke platform resmi. Dengan otomatisasi ini, input manual yang memakan waktu dapat diminimalkan.




VIDEO (VLOG) COACH EDWIN


Jangan lewatkan menonton video dari Coach Edwin tentang Life, Spiritual dan Bisnis untuk mendapatkan manfaatnya.


pelatihan pikiran bawah sadar

Program Kami

 

Jika Anda membutuhkan pembicara terkait motivasi, konsultasi berbagai masalah kehidupan / bisnis, Coach untuk menangani masalah yang Anda hadapi, silahkan konsultasikan kepada kami melalui whatsApp sekarang juga.



Apa Masalah Anda?




WhatsApp